Radoixx Blog
semoga bermanfaat
Minggu, 26 September 2010
TORTOR BATAK TOBA
Bila mendengar istilah "Tortor Batak" maka yang terbayangkan adalah sekelompok orang (Batak Toba) yang menari (manortor) diiringi seperangkat alat musik tradisional (gondang sabangunan). Gerak tari yang gembira ria, lenggak-lenggok yang monoton, yang digelar dalam sebuah pesta (suka/duka) di kawasan Tapanuli Dulu, tradisi manortor pada umumnya berlangsung dalam kehidupan masyarakat Batak antara lain wilayah Samosir, wilayah Toba dan sebagian Humbang. Sementara untuk kawasan Silindung setelah masuknya Kristen dikenal budaya "menyanyi" dan tarian "moderen" dan di kawasan Pahae dikenal tumba (tarian gembira dengan lagu berpantun) seperti disebut Pahae do mula ni tumba.
Perkembangan selanjutnya hingga memasuki abad "modern" masyarakat Batak membawa seni budayanya ke tanah perantauan di luar Tapanuli termasuk seni tortor yang pada awalnya menggunakan musik rekaman (kaset) hingga akhirnya seperangkat alat gondang sabangunan dibawa hijrah yang kemudian kelompok musik tradisionalnya melayani masyarakat Batak sekaligus mata pencaharian atau bisnis musik.
Di tahun 1970- hingga 1980-an, hampir semua kegiatan adat masyarakat dilakukan dalam bentuk tortor dan gondang sabangunan, baik dalam pesta adat perkawinan, pesta peresmian rumah parsattian, pesta tugu, pesta membentuk huta/perkampungan juga pesta adat kematian orangtua, bahkan kalangan pemuda menggelar "pesta naposo"sebagai ajang hiburan dan perkenalan (mencari jodoh). Pesta Naposo, di beberapa daerah disebut juga pesta rondang bulan (Samosir), pesta rondang bintang (Simalungun). Tidak ketinggalan Pemerintah Daerah Tapanuli Utara, dalam rangka pelestarian seni budaya Batak Toba selalu menggelar festival tortor menjelang perayaan Hari Kemerdekaan 17 Agustus. Festival ini dilakukan mulai dari tingkat Kecamatan hingga diperoleh utusan dari 5 wilayah (Silindung, Humbang I, Humbang II, Toba dan Samosir) untuk mengikuti Festival Tortor Tingkat Kabupaten, dan selanjutnya juara-juara menjadi peserta pada Festival Tortor di tingkat Propinsi. Setelah otonomi daerah, masing-masing Kabupaten ex Tapanuli Utara juga menggelar festival tortor dalam berbagai kegiatan pesta perayaan hari jadi atau hari-hari besar lainnya juga untuk kegiatan kepariwisataan.
Seiring dengan perkembangan zaman dan bergulirnya waktu, kehadiran gerak tari yang trend di tahun 1990-an seperti dansa, jojing dsb, simultan dengan munculnya alat musik elektronik (keyboard), di beberapa wilayah Tapanuli, penggunaan tortor dan gondang sabangunan hampir tidak kelihatan lagi, hingga bila masyarakat ingin menyaksikan gondang sabangunan dan tortor Batak harus secara khusus ke daerah wisata yang memang tersedia kelompok seni budaya tradisionalnya seperti Tomok, Simanindo, Pangururan di Samosir, Perkampungan Wisata di Jangga kec.Lumbanjulu Toba, sementara kelompok gondang sabangunan kelihatannya "bubar" atau hijrah ke luar bona pasogit antara lain ke Jakarta atau Jawa, Riau dan sebagainya. Kalaupun ada hajatan atau pesta yang menginginkan gondang Batak biasanya dipesan dari wilayah Toba (Balige, Porsea, Laguboti) dan wilayah Samosir, sedang di wilayah Humbang peralatan musik gondang yang digunakan kelihatannya tidak lengkap (hanya ada beberapa buah taganing, ogung dan seruling).
Hingga memasuki abad 21, alat musik yang dipergunakan merupakan campuran dari alat musik modern (keyboard, drum) dengan alat musik tradisional (taganing, seruling) saja, dan hampir seluruh daerah/wilayah memilikinya dengan menggunakan "lagu/nyanyian" modern yang diciptakan seiring dengan trend lagu yang berkembang. Mungkin bagi orang-orang yang mendalami adat dan seni budaya Batak tradisional, kondisi ini sedikit menimbulkan pertentangan bathin bahkan tidak respek, sementara bagi masyarakat umum tidak mempersoalkannya bahkan menikmatinya.
Ada ironi yang terjadi dalam penyelenggaraan pesta yang menggunakan musik modern atau campuran sebagaimana disebutkan diatas, yakni ketika penyelenggara (hasuhuton) dan para tetamu, undangan (naniontang) akan manortor, maka dia meminta pemusik untuk menggelar musiknya dengan menyebut "Panggual-Pargonsi, baen hamu ma jo gondang i, asa manortor hami, baen hamu ma gondang mula-mula, gondang somba, gondang simonang-monang, gondang hasahatan sitio-tio". Maka kelompok musik akan menabuh drum dan membunyikan keyboardnya dengan lagu-rythim modern dan tarian yang dipertunjukkan sudah pasti tarian "modern" bukan lagi tortor Batak.
Kondisi yang demikian tentu akan semakin mempercepat punahnya tortor Batak dan musik tradisional Batak-gondang sabangunan, hal ini sudah menggejala dan kelihatan nyata terutama bagi generasi muda Batak, mereka tidak lagi mengetahui tortor dan musik Batak yang sebenarnya, yang mereka ketahui adalah apa yang mereka lihat selama ini "musik dan tarian modern" yang ddigelar dalam pesta-pesta, itulah tortor dan musik Batak. Timbul pertanyaan, haruskah kita biarkan tortor-musik tradisional Batak ini punah? Bukankah tortor dan musik Batak tersebut adalah identitas budaya Batak dalam keragaman seni budaya Indonesia?
Tortor, Makna Kehidupan Seni-Budaya Orang Batak
Sebagaimana lazimnya dalam berbagai etnis di dunia, gerak tari sebagai bagian dari seni budaya merupakan refleksi dan perwujudan dari sikap, sifat, perilaku dan perlakuan serta pengalaman hidup masyarakat itu sendiri. Bahasa menunjukkan bangsa, sebut para budayawan, maka tarian/gerak adalah juga bahasa (tubuh) yang menggambarkan bangsa. Dalam tarian tergambar cita rasa, daya cipta dan karsa dari sekelompok orang-orang. Tarian Melayu yang lemah gemulai, tarian Nias atau Papua yang menghentak-hentak, atau tarian Mexico yang cepat-sigap, menggambarkan bahasa hati/jiwa, sikap hidup mereka.
Akan halnya tortor Batak, tidak jauh berbeda dengan makna yang digambarkannya dalam gerak yang selalu diiringi oleh musik tradisional gondang sabangunan. Tortor Batak juga menggambarkan pengalaman hidup orang Batak dalam kehidupan keseharian, gembira/senang, bermenung, berdoa/menyembah, menangis, bahkan keinginan-cita-cita dan harapan dan lain sebagainya dapat tergambar dalam Tortor Batak. Karenanya, penulis tidak menerima pernyataan sementara orang-orang bahwa Tortor Batak sifatnya "monoton" atau begitu-begitu saja.
Di era masuknya agama Kristen ke tanah Batak, pernah terjadi di sebuah wilayah bahwa tortor Batak tidak diperbolehkan dipagelarkan dalam pesta atau hajatan lain, karena dianggap bernuansa "animisme" bahkan di zaman inipun justru ada "agama" yang mengharamkan menggunakan ulos,, tortor, gondang sabangunan dan adat Batak dengan alasan bahwa mereka yang menggunakannya bukan orang yang beragama. Kenyataan di dalam masyarakat, ulospun dibakar, mereka yang menggelar gondang dan tortor Batak dikeluarkan dari sekte gereja.
Dapat digambarkan bahwa tortor Batak memaknai kehidupan seni-budaya Batak, persoalannya apakah bertentangan dengan agama atau tidak tergantung kepada cara pandang dan pemahaman kita. Bahkan akhir-akhir ini, justru dalam kebaktian agama (gereja) tortor dan gondang Batak telah menjadi bagian dan pendukung acara kebaktian (misalnya lakon pengakuan dosa dan mengantar persembahan digambarkan/dikoreografis dengan tortor Batak). Gambaran kehidupan orang Batak sebagaimana direfleksikan dalam tortor Batak tentu akan dapat dipahami melalui urut-urutan dan nama musik gondang yang diminta oleh tetua kelompok (paminta gondang), biasanya didahului dengan Gondang Mula-mula, Gondang Somba, Gondang Mangaliat, Gondang Simonang-monang, Gondang Sibungajambu, Gondang Marhusip, dan seterusnya yang diakhiri dengan Gondang Hasahatan Sitio-tio. Demikian juga tortor/gerakan yang dilakonkan akan berbeda sesuai dengan irama dari gondang yang dibunyikan oleh Pargonsi (Pemusik).
Bagi mereka yang mengetahui, memahami dan menikmati irama gondang dan tortor akan menyadari betul apa yang digambarkan dan dimaknai tortor yang dipagelarkan. Dengan demikian, semua orang Batak dapat manortor tetapi tidak semua disebut panortor (penari) atau "pandai manortor" karena untuk menjadi panortor Batak haruslah memiliki talenta dan latihan yang kontinu.
Hal-hal yang Harus Diperhatikan dalam Tortor (Batak)
Dalam melakonkan Tortor, sudah barang tentu tidak sekedar membuat gerak tangan, kaki atau badan, juga gerak mata (pandangan) dan ekspressi (mimik) tetapi juga musik pengiring yang dipergunakan harus berirama Batak yakni gondang sabangunan yang terdiri ada taganing, ogung (doal, panggora, oloan), sarune, odap gordang dan hesek, sebab gerakan manortor harus mengikuti irama/rytme perangkat musik tersebut. Selain itu, pakaian yang lazim digunakan juga harus sesuai dengan motif Batak, misalnya selendang atau ulos yang dipakai tergantung maksud dan tujuan acara-pesta seperti ulos sibolang, ragi idup, tali-tali, suri-suri dan sebagainya
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa gerak tortor Batak berbeda dalam setiap jenis musik yang diperdengarkan dan berbeda pula gerak tortor laki-laki dan gerak tortor perempuan. Menurut para pemerhati tortor, bahwa tortor yang dilakonkan juga dibedakan antara tortor raja dengan tortor natorop.
Sementara perangkat lain dalam acara tortor Batak biasanya harus ada orang yang menjadi pemimpin kelompok tortor dan pengatur acara/juru bicara (paminta gondang), untuk yang terakhir ini sangat dibutuhkan kemampuan untuk memahami urutan gondang dan jalinan kata-kata serta umpasa dalam meminta gondang. Bagaimanapun juga, tortor Batak adalah identitas seni budaya masyarakat Batak yang harus dilestarikan dan tidak lenyap oleh perkembangan zaman dan peradaban manusia. Dalam tortor Batak terdapat nilai-nilai etika, moral dan budi pekerti yang perlu ditanamkan kepada generasi muda.
Jika belakangan ini dilansir bahwa generasi muda Batak kehilangan jati diri ditandai dengan tidak mampu berbahasa Batak, tidak bersikap seperti orang Batak, tidak memahami seluk-beluk adat Batak, maka ke depan hal ini harus menjadi bagian dari perhatian masyarakat Batak dan Pemerintah di Bona Pasogit.
Gondang sabangunan(Gendang batak)
Gondang sabangunan atau ogung sabagunan ialah separangkat gendang dan gong merupakan instrumen inti musik gondang batak. Gondang sabangunan terdiri dari: tagading, ogung dan sarune. Tagading terdiri dari lima jenis,sedangkan ogung terdiri dari: ogung oloan, ogung ihutan, ogung doal dan ogung jeret. Sarune juga terdiri dari lima lobang. Umumnya gondang sabangunan dimainkan untuk memohon berkat dari arwah para leluhur.
Gondang Raja Silahisabungan dikenal dengan nama:"Gondang sitolupulutolu"
dan dibunyikan dalam acara horja bius di Silalahi nabolak. Gondang Silahisabungan berbeda dengan gondang Toba yang sering kita dengar. Gondang sitolupulutolu adalah perpaduan dari gondang Toba,Karo,Pakpak dan Simalungun. Dibandingkan dengan gondang Toba, maka gondang Silahisabungan bentuknya lebih kecil,baik gondangnya ataupun sarunenya tetapi suaranya lebih nyaring. Sebab itu ketika upacara menarik kerbau diadakan yg akan dilahat ke hau borotan diiringi gondang Silahisabungan,maka kerbau itu akan kelihatan lebih liar. Sebaliknya kalau diiringi dengan gondang Toba maka
kerbau yang mau digiring tampak lebih jinak.
Makna Gondang Silahisabungan adalah sitolu gugung,sitolu harajaon,sisada hadirion. Berhubungan dengan alam kepercayaan yang dianut Raja Silahisabungan saat itu dimana dipercaya tiga alam kosmos dan tiga penguasanya yaitu: "Batara guru sebagai penguasa banua ginjang, Soripada sebagai penguasa banua tonga, dan Mangalabulan sebagai penguasa banua toru.
Gondang ini diciptakan oleh kakek Raja Silahisabungan.Raja silahisabungan memaknai dalam pengalaman hidupnya bahwa kehidupan ditentukan oleh tiga unsur yaitu :Langit sebagai sumber pernafasan(udara),darat sebagai sumber makanan dan laut sebagai sumber air minum(air). Ketiga unsur tersebut dipercaya dikuasai oleh suatu kekuatan yaitu Mulajadi Nabolon.
Ulos Raja Silahisabungan juga berbeda denga ulos batak pada umunya.Ulos tersebut disebut ulos gobar mempunyai garis putih di permukaannya. Demikian sekedar informasi bagi orang tapanuli terutama bagi keturunan Silahisabungan dimanapun berada.
Horas
Marga Manurung yang ada di sekitar kita sdh tdk asing lagi ditelinga,Gurgur
Manurung(Pemerhati lingkungan),Tetty Manurung(penyanny) adalah sebagian
keturunan dari Toga Manurung.Orangtua yang baik,pasti mengajarkan kepada
mereka asal-usul mereka.Tetapi masih banyak orang yang tdk mengetahui
asal-usul mereka karena memang tdk peduli arti sebuah marga atau tdk pernah
diceritakan oleh orangtua mereka.
Bagi mereka yang ingin mengetahui, dibawah saya tuliskan sedikit tentang
Silsilah Toga Manurung,dan bila kurang lengkap,mohon dikoreksi.
Toga Manurung adalah anak Raja Mangarerak dari Isteri pertama.Raja
Mangarerak ini punya isteri dua.Dari Isteri pertama lahir Toga manurung dan
Raja Sitorus.Sedangkan dari Isteri kedua lahir Purba dan Tanjung.Toga
Manurung mempunyai anak tiga yaitu:Hutagurgur,Hutagaol dan Simanoroni.
Sebagian keturunan Toga Manurung ini mendiami daerah
Janjimatogu,Sionggang,dan Sibisa.Sebahagian lagi bertempat tinggal di
daerah Banuarea Marom,Sibuntuon,Janjimaria dan Sigaol Uluan.
Diantara keturunan Manurung ini ada yang bernama "Partigatigasipunjung"
meninggalkan daerah Uluan ke Pematang Siantar.Orangtuanya mempunyai dua
isteri.Dia juga membawa adiknya seorang perempuan(itonya) dari lain ibu
ikut bersamanya ke Pematang Siantar.Mereka bertempat tinggak didaerah
Suhajan.Didaerah tsb mereka sudah menemukan marga Sitanggang dan marga
Manik.Pada saat mereka bertemu dengan warga setempat,mereka ditanya apa
marganya.Lalu Partigatigasipunjung menjawab bahwa mereka adalah marga
Manik,karena didaerah tsb mayoritas adalah marga Manik.
Jadi Partigatigasipunjung dan keturunannya memakai marga Manik didaerah
tersebut.
Setelah beberapa lama tinggal didaerah tsb,Keturunan Partigatigasipunjung
mengadakan kesepakatan dengan marga Manik untuk mengusir marga Sitanggang
dari daerah itu(pematang Siantar).Peperangan antar marga terjadi,dan marga
Sitanggang kalah dan melarikan diri ke Tanah Jawa(Tano Jawa).
Akhirnya Keturunan Partigatigasipunjung menguasai daerah tsb dan mereka
mendiami daerah Sitanggang sebelumnya.
Inilah sedikit riwayat Partigatigasipunjung dari marga Manurung menjadi
marga Manik.
Partigatigasipunjung ini mempunyai anak satu yang bernama Bah Bolak I.
Sedangkan Bah Bolak I mempunyai dua anak yaitu: Bah Bolak II dan Raja
Naihorsik.Dari peristiwa diatas menunjukkan bahwa Ada marga Manurung
memakai marga Manik di Pematang Siantar.Apakah ini sdh diteliti marga
Manurung? Atau mereka itu sdh keluar dari marga Manurung dan masuk marga
Manik?
Siboro
Anda mungkin mengetahui bahwa sebagian marga Siboro memakai marga Purba.
Dahulukala tersebutlah dua orang kakak-adik dari keturunan Siboro yang
bernama Raja langit dan Raja Ursa.Ayah mereka ini bernama
Tentangniaji.Mereka mengadakan perjalanan ke daerah Dairi.Setelah sampai di
Tungtungbatu,maka Raja langit menikah dengan seorang wanita yang melahirkan
seorang anak dan diberi nama Tungtungbatu.Keturunan Tungtungbatu inilah
yang memakai marga Purba didaerah itu.Sedangkan Raja Ursa meneruskan
perjalanannya ke lehu dan menikah disana dgn seorang wanita yang melahirkan
seorang anak yang diberi nama Raja Lehu,keturunannnya juga memakai marga
Purba.
Kemudian mereka berdua meninggalkan daerah itu menuju daerah
Simalungun.Raja Langit bermukim di di Langgiung Purba dan menikah lagi
ditempat ini.
dari wanita yang dinikahinya lahir dua anak yang diberi nama::Raja
Parultop(Datu Parulas) dan Tuan Purba.Demikian juga Raja Ursa,tdk mau kalah
dengan saudaranya.Dia pergi menuju Nagasaribu Simalungun dan menikah lagi
dan isterinya melahirkan dua anak yang diberi nama:Raja Nagasaribu dan Tuan
Binangara. Keturunan anak2nya ini memakai marga Girsang.Klan yang masuk
marga ini adalah Girsang Rumaparik,Girsang Parhara dan Girsang Silangit.
Raja Parultop sebelumnya disebut Datu Parulas,tetapi karena pekerjaannya
selalu marultop,maka dia dipanggil Raja Parultop.Ultop pada jaman itu
dipakai untuk menangkap burung.Alat ini terdiri dari sepotong bambu dan
dilengkapi dengan alat yang tajam yang dimasukkan kedalam bambu tsb dan
ditiup untuk meluncurkan alat semacam panah kesasaran tembak.Raja Parultop
inipun menikah dan isterinya melahirkan seortang anak yang bernama
Suha.Setelah si Suha ini dewasa,dia menikah dan lahir anaknya yang diberi
nama Tuan Hinalang.Keturunan Suha ini memakai marga Siboro.
Suatu ketika Raja Parultop melihat seekor burung,dia mengintai burung itu
sembari membawa ultopnya.Pada saat-saat dia mulai siap2 meniup
ultopnya,burung tsb terbang.Dia ikuti terus kemana burung terbang,dan
berpesan kepada orangtuanya bahwa bila mereka melihat daun2an layu berarti
pertanda bahwa dia mengalami kesulitan dalam perjalanannya,dan segera
meminta agar menyuruh orang melihatnya.
Burung yang diikutinya sudah sampai ke daerah Sagala.Setelah dia sampai ke
huta Sagala,tiba2 dia melihat seseorang tiarap mengintai seekor babi hutan
yang lehernya berkalungkan rantai.Dia lalu bertanya,mengapa dia bersembunyi
di semak-semak.lalu laki2 itu menjawab:"Tanaman saya habis dimakan babi
hutan yang berkalungkan rantai itu.Tapi saya kesulitan menangkap babi
tsb.Lalu Raja parultop menawarkan diri untuk menangkapnya.Kalau kamu
kesulitan menangkapnya,maka saya akan bantu saudara menangkapnya.Laki2
itupun senang dan dia berkata:"Bila kamu berhasil menangkap binatang itu
maka saya akan memberikan anak saya untuk dijadikan isteri.Aku memiliki
tujuh gadis,dan terserah kamu memilihnya."
Raja parultop dgn laki2 itu mengadakan perjanjian dan sepakat untuk
memenuhi perjanjian diantara mereka.
Raja Parultop meminta kepada laki2 itu demikian:"Bila saya meninggal,agar
jangan langsung dikubur,tapi bawalah saya ke sopo(semacam tempat
peritirahatan).Baiklah ,kata laki2 itu,lalu laki2 itu menunjukkan tempat
babi hutan yg merusak tanamannya(aili) kepada raja Parultop.Raja parultop
langsung menggunakan ultopnya ..Tesss..Babi hutan kena bidikannya dan
mati.Tiba2 datang semacam burung elang yg berkepala tujuh(lali sipitu ulu)
untuk memukul Raja Parultop.Dibidiknya juga lali sipitu ulu(Burung elang
yang berkepala tujuh) dan kena..dan mati.tetapi sial baginya,bangkai lali
sipitu ulu menimpa tubuhnya dan Raja Parultop ikut tewas.Sesuai dengan
janji mereka,Bangkai Raja Parultop dibawa ke sopo.
Dengan kematian raja parultop,maka daun2an atau bunga menjadi layu sebagai
tanda pesan Raja parultop ke orangtuanya.Sesuai pesannya,orangtuanya
memerintahkan anak raja Parultop yang bernama Suha mencarinya.Suhapun pergi
mencari ayahnya dan ditemukan Raja parultop ayahnya telah terbujur
meninggal di sopo.Dengan ilmu yang dimiliki oleh Suha,dia meletakkan
semacam pencegah kematian keatas tubuh ayahnya yang dalam bahasa batak
disebut:Taoar pangabangabang,Taoar pangubungubung,sipangolu naung
mate,siparata naung busuk.Dengan meletakkannya kebuh sang ayah,ahirnya Raja
parultop hidup kembali.
Berhubung Raja Parultop hidup kembali,maka laki2 tsb memenuhi janji(padan)
yang telah disepakati dan menawarkan agar raja parultop memilih satu dari
ketujuh wanita itu sebagai isterinya.
Baiklah kata raja Parultop,sebelum saya menentukan pilihan,saya mau
mengundang ketujuh putrinya untuk melewati sebuah sungai.Mereka bertujuh
disuruh Raja Parultop menyeberangi sungai yang ada didesa itu.Putri pertama
hingga keenam memakai pakaian yang indah dan selalu mengangkat pakaiannya
pada saat menyeberangi sungai agar tdk basah,tetapi putri ketujuh memakai
pakaia yg paling jelek diantara mereka membiarkan pakaiannya basah
menyeberangi sungai itu.Dia tdk mengangkatnya.Lalu Raja Parultop menentukan
bahwa putri yang berpakaian jelek itu saja sebagai isterinya.Karena dialah
yang mengetahui adat dan mengerti kesopanan.Nama Putri itu adalah
Asangpagar.Dialah menjadi isteri Raja Parultop yang melahirkan tiga anak
baginya.
Si Suha juga menetap tinggal didaerah Sagala dan menikah disana.Isterinya
melahirkan satu anak dan dinamai Raja Suha. Demikianlah cerita keturunan
Guru Tentangniaji.
Selasa, 21 September 2010
Langganan:
Postingan (Atom)